Senin, 13 Desember 2010

euthanasia


BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Membunuh bisa dilakukan secara legal. Itulah euthanasia, pembuhuhan legal yang sampai kini masih jadi kontroversi. Tidak hanya dinegara-negara Barat, tapi juga telah merambah ke dunia Timur, bahkan juga di Indonesia. Pembunuhan legal ini pun ada beragam jenisnya.
Secara umum, kematian adalah suatu topik yang sangat ditakuti oleh publik. Hal demikian tidak terjadi di dalam dunia kedokteran atau kesehatan. Dalam konteks kesehatan modern, kematian tidaklah selalu menjadi sesuatu yang datang secara tiba-tiba. Kematian dapat dilegalisir menjadi sesuatu yang definit dan dapat dipastikan tanggal kejadiannya. Euthanasia memungkinkan hal tersebut terjadi.
Euthanasia adalah tindakan mengakhiri hidup seorang individu secara tidak menyakitkan, ketika tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai bantuan untuk meringankan penderitaan dari individu yang akan mengakhiri hidupnya.
Kelompok-kelompok pendukung euthanasia mulanya terbentuk di Inggris pada tahun 1935 dan di Amerika pada tahun 1938. Banyak data menyebutkan telah terjadi euthanasia di berbagai Negara. Apakah euthanasia itu juga merupakan hal yang legal dalam Islam?

2. Rumusan Masalah
a. Apakah Euthanasia itu?
b. Bagaimana Sejarah dan perkembangnya?
c. Bagaimanakah Hukum Islam Menyikapi Euthanasia?

BAB II
PEMBAHASAN

EUTHANASIA DALAM HUKUM ISLAM
A.Pengertian dan Sejarah Euthanasia
Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti “baik”, dan thanatos, yang berarti “kematian” (Utomo, 2003:177). Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu ar-rahma atau taysir al-maut. Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya (Hasan, 1995:145).
Hippokrates pertama kali menggunakan istilah "euthanasia" ini pada "sumpah Hippokrates" yang ditulis pada masa 400-300 SM. Sumpah tersebut berbunyi: "Saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu".

B. Jenis Euthanasia
Dalam praktik kedokteran, dikenal dua macam euthanasia, yaitu euthanasia aktif dan euthanasia pasif.
Euthanasia aktif qatl ar-rahmah (pembunuhan dengan kasih sayang) adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. (Utomo, 2003:176).
Adapun euthanasia pasif, taisir al-maut (memudahkan kematian). adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi.


C. Contoh Kasus Menarik
Kasus Hasan Kusuma - Indonesia
Sebuah permohonan untuk melakukan euthanasia pada tanggal 22 Oktober 2004 telah diajukan oleh seorang suami bernama Hassan Kusuma karena tidak tega menyaksikan istrinya yang bernama Agian Isna Nauli, 33 tahun, tergolek koma selama 2 bulan dan disamping itu ketidakmampuan untuk menanggung beban biaya perawatan merupakan suatu alasan pula.
Permohonan untuk melakukan euthanasia ini diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kasus ini merupakan salah satu contoh bentuk euthanasia yang diluar keinginan pasien. Permohonan ini akhirnya ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan setelah menjalani perawatan intensif maka kondisi terakhir pasien (7 Januari 2005) telah mengalami kemajuan dalam pemulihan kesehatannya.
Aturan hukum mengenai masalah ini sangat berbeda-beda di seluruh dunia dan seringkali berubah seiring dengan perubahan norma-norma budaya dan tersedianya perawatan atau tindakan medis. Di beberapa negara, tindakan ini dianggap legal, sedangkan di negara-negara lainnya dianggap melanggar hukum. Karena sensitifnya isu ini, pembatasan dan prosedur yang ketat selalu diterapkan tanpa memandang status hukumnya.

D. Argumen Pro Euthanasia
Kelompok pro euthanasia, yang termasuk juga beberapa orang cacat, berkonsentrasi untuk mempopulerkan euthanasia dan bantuan bunuh diri. Mereka menekankan bahwa pengambilan keputusan untuk euthanasia adalah otonomi individu.
Mereka yang mengadvokasikan euthanasia non sukarela, seperti Peter Singer, berargumentasi bahwa peradaban manusia berada dalam periode ketika ide tradisional seperti kesucian hidup telah dijungkir balikkan oleh praktek kedokteran baru yang dapat menjaga pasien tetap hidup dengan bantuan instrumen. Dia berargumen bahwa dalam kasus kerusakan otak permanen, ada kehilangan sifat kemanusian pada pasien tersebut, seperti kesadaran, komunikasi, menikmati hidup, dan seterusnya. Mempertahankan hidup pasien dianggap tidak berguna, karena kehidupan seperti ini adalah kehidupan tanpa kualitas atau status moral.
Falsafah Utilitarian Singer menekankan bahwa tidak ada perbedaan moral antara membunuh dan mengizinkan kematian terjadi. Jika konsekuensinya adalah kematian, maka tidak menjadi masalah jika itu dibantu dokter, bahkan lebih disukai jika kematian terjadi dengan cepat dan bebas rasa sakit.

E. Oposisi terhadap Euthanasia
Banyak argumen anti euthanasia bermula dari proposisi, baik secara religius atau sekuler, bahwa setiap kehidupan manusia memiliki nilai intrinsik dan mengambil hidup seseorang dalam kondisi normal adalah suatu kesalahan. Advokator hak-hak orang cacad menekankan bahwa jika euthanasia dilegalisasi, maka hal ini akan memaksa beberapa orang cacad untuk menggunakannya karena ketiadaan dukungan sosial, kemiskinan, kurangnya perawatan kesehatan, diskriminasi sosial, dan depresi.
Orang cacad sering lebih mudah dihasut dengan provokasi euthanasia, dan informed consent akan menjadi formalitas belaka dalam kasus ini. Beberapa orang akan merasa bahwa mereka adalah beban yang harus dihadapi dengan solusi yang jelas. Secara umum, argumen anti euthanasia adalah kita harus mendukung orang untuk hidup, bukan menciptakan struktur yang mengizinkan mereka untuk mati.


F. Dalam Pandangan Islam Secara Global
Seperti dalam agama-agama Ibrahim lainnya (Yahudi dan Kristen), Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah Allah kepada manusia. Hanya
Allah yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22: 66; 2: 243). Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak ada teks dalam Al Quran maupun Hadis yang secara eksplisit melarang bunuh diri.
Kendati demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut, "Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS 2: 195), dan dalam ayat lain disebutkan, "Janganlah engkau membunuh dirimu sendiri," (QS 4: 29), yang makna langsungnya adalah "Janganlah kamu saling berbunuhan." Dengan demikian, seorang Muslim (dokter) yang membunuh seorang Muslim lainnya (pasien) disetarakan dengan membunuh dirinya sendiri.
Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981, dinyatakan bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya euthanasia ataupun pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) dalam alasan apapun juga .

G. Dalam Pandangan Syariah Islam Secara Detail
Syariah Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala persoalan di segala waktu dan tempat. Berikut ini solusi syariah terhadap euthanasia.
1. EuthanasiaAktif
Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad), walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien
. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya.
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri. Misalnya firman Allah SWT :
]وَلاَ تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ[
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-An’aam : 151)
“Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja)…” (QS An-Nisaa` : 92)
]وَلاَ تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا[
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
(QS An-Nisaa` : 29).
Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad) yang merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar. Karena itu, apapun alasannya (termasuk faktor kasihan kepada penderita), tindakan euthanasia aktif tersebut jelas tidak dapat diterima. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lain yang tidak diketahui dan terjangkau oleh manusia, yaitu pengampunan dosa.
Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan mematikan, menurut hukum pidana Islam
akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah :
“Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.”
(QS Al-Baqarah : 178)
Dengan mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya, yaitu pengampunan dosa.
 Rasulullah SAW bersabda,”Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang menimpanya itu.” (HR Bukhari dan Muslim).

2. Euthanasia Pasif
Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya
termasuk dalam praktik menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien.
Bagaimanakah hukumnya menurut Syariah Islam?
Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Utomo, 2003:180)
Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:68) hukum berobat adalah mandub. Tidak wajib. Hal ini berdasarkan berbagai hadits, di mana pada satu sisi Nabi SAW menuntut umatnya untuk berobat, sedangkan di sisi lain, ada qarinah (indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan yang tegas (wajib), tapi tuntutan yang tidak tegas (sunnah).
Di antara hadits-hadits tersebut, adalah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA)
Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut ilmu Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li ath-thalab), bukan menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah ushul :
Al-Ashlu fi al-amri li ath-thalab
“Perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan.” (An-Nabhani, 1953)
Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits itu tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib. Hadits-hadits lain itu membolehkan tidak berobat.
Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang perempuan hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata,”Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku!” Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Perempuan itu berkata,”Baiklah aku akan bersabar,” lalu dia berkata lagi,”Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap.” Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR Bukhari)
Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub), bukan wajib (Zallum,1998:69).
Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah, apakah dokter berhak mencabutnya dari pasien yang telah kritis keadaannya?
Jawabannya adalah boleh jika memang tidak tersembuhkan lagi secara kedokteran.

3. Dasar Kebolehan
Di antara yang mendasari kebolehan melakukan euthanasia pasif, yaitu tindakan mendiamkan saja si pasien dan tidak mengobati, adalah salah satu pendapat di kalangan sebagain ulama. Yaitu bahwa hukum mengobati atau berobat dari penyakit tidak sepenuhnya wajib. Bahkan pendapat ini cukup banyak dipegang oleh imam-imam mazhab.
Menurut sebagian mereka, hukum mengobati atau berobat ini hanya berkisar pada hukum mubah. Tetapi bukan berarti semua ulama sepakat mengatakan bahwa hukum berobat itu mubah. Dalam hal ini sebagian dari para ulama itu tetap mewajibkannya. Misalnya apa yang dikatakan oleh sahabat-sahabat Imam Syafi`i dan Imam Ahmad bin Hambal, juga sebagaimana yang dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah. Mereka itu tetap beranggapan bahwa berobat dan mengupayakan kesembuhan merupakan tindakan yang mustahab (sunnah).

4. Perbedaan Pendapat
Para ulama bahkan berbeda pendapat mengenai mana yang lebih utama: berobat ataukah bersabar? Bersabar di sini berarti tidak berobat.
Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa bersabar (tidak berobat) itu lebih utama, berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan dalam kitab sahih dari seorang wanita yang ditimpa penyakit epilepsi.
Di samping itu, juga disebabkan banyak dari kalangan sahabat dan tabi`in yang tidak berobat ketika mereka sakit, bahkan di antara mereka ada yang memilih sakit, seperti Ubai bin Ka`ab dan Abu Dzar radhiyallahu`anhuma.
Dan tidak ada yang mengingkari mereka yang tidak mau berobat itu.
Dalam kaitan ini, Imam Abu Hamid al-Ghazali telah menyusun satu bab tersendiri dalam `Kitab at-Tawakkul` dari Ihya` Ulumuddin, untuk menyanggah orang yang berpendapat bahwa tidak berobat itu lebih utama dalam keadaan apa pun.
Demikian pendapat para fuqaha mengenai masalah berobat atau pengobatan bagi orang sakit. Sebagian besar di antara mereka berpendapat mubah, sebagian kecil menganggapnya mustahab (sunnah), dan sebagian kecil lagi --lebih sedikit dari golongan kedua-- berpendapat wajib.
Dalam hal ini kami sependapat dengan golongan yang mewajibkannya apabila sakitnya parah, obatnya berpengaruh, dan ada harapan untuk sembuh sesuai dengan sunnah Allah Ta`ala.
Inilah yang sesuai dengan petunjuk Nabi saw. yang biasa berobat dan menyuruh sahabat-sahabatnya berobat, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Ibnul Qayyim di dalam kitabnya Zadul-Ma`ad. Dan paling tidak, petunjuk Nabi saw. itu menunjukkan hukum sunnah atau mustahab.
Oleh karena itu, pengobatan atau berobat hukumnya mustahab atau wajib, apabila penderita dapat diharapkan kesembuhannya. Sedangkan jika sudah tidak ada harapan sembuh, sesuai dengan sunnah Allah dalam hukum sebab-akibat yang diketahui dan dimengerti oleh para ahlinya --yaitu para dokter-- maka tidak ada seorang pun yang mengatakan mustahab berobat, apalagi wajib.
Apabila penderita sakit diberi berbagai macam cara pengobatan --dengan cara meminum obat, suntikan, diberi makan glukose dan sebagainya, atau menggunakan alat pernapasan buatan dan lainnya sesuai dengan penemuan ilmu kedokteran modern-- dalam waktu yang cukup lama, tetapi penyakitnya tetap saja tidak ada perubahan, maka melanjutkan pengobatannya itu tidak wajib dan tidak mustahab, bahkan mungkin ke balikannya (yakni tidak mengobatinya) itulah yang wajib atau mustahab.
Maka memudahkan proses kematian --kalau boleh diistilahkan demikian-- di mana dokter hanya meninggalkan sesuatu yang tidak wajib dan tidak sunnah, sehingga tidak dikenai sanksi, maka tindakan pasif ini adalah bolehdan dibenarkan syariat. Terutama bila keluarga penderita mengizinkannya dan dokter diperbolehkan melakukannya untuk meringankan si sakit dan keluarganya, insya Allah.
Semua itu dengan pertimbagan bahwa membiarkan si sakit dalam kondisi seperti itu hanya akan menghabiskan dana yang banyak bahkan tidak terbatas. Selain itu juga menghalangi penggunaan alat-alat tersebut bagi orang lain yang membutuhkannya dan masih dapat memperoleh manfaat dari alat tersebut.
Disisi lain, penderita yang sudah tidak dapat merasakan apa-apa itu hanya menjadikan sanak keluarganya selalu dalam keadaan sedih dan menderita, yang mungkin sampai puluhan tahun lamanya. Wallahu a’lam.




















BAB III
KESIMPULAN


Euthanasia merupakan suatu hal yang menyimpang dari moral kemanusiaan. Hal ini karena menyangkut terhadap hak hidup atau nyawa seseorang. Meskipun dalam kode etik kedokteran euthanasia itu sendiri merupakan sebuah pelanggaran yang fatal, namun kode etik tidak bisa menjamin akan tidak terlaksananya sebuah tindakan euthanasia. Apalagi dibeberapa Negara telah melegalkan euthanasia dengan syarat-syarat yang telah di tentukan.
Islam sebagai agama rahmatal lil alamin memiliki pandangan tersendiri akan hal ini
. Dari sudut pandang hkum Islam, diputuskan bahwa euthanasia aktif atau posiif adalah haram hukumnya. Sedangkan hukum euthanasia pasif masih menjadi perdebatan, antara boleh dan tidak boleh. Tetapi berdasarkan beberapa litelatur yang telah dikaji, penulis menemukan sebuah benang merah yang bisa ditarik yaitu hukum kondisional, artinya euthanasia pasif (menghentikan pengobatan) pada orang yang secara medis tidak tertolong lagi maka boleh hukumnya, mengingat penyakit yang diderita dan beban yang ditanggung dirinya dan keluarga. Sedangkan pada orang yang secara medis masih bisa diselamatkan, maka wajib diteruskan pengobatan. Wallahu a’lam.







DAFTAR PUSTAKA
Hasan, M.Ali. 1995. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam. Jakarta : RajaGrafindo Persada.
Utomo, Setiawan Budi. 2003. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer. Jakarta: Gema Insani Press.
Zallum, Abdul Qadim. 1998. Beberapa Problem Kontemporer dalam Pandangan Islam: Kloning, Transplantasi Organ Tubuh, Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati. Bangil : Al Izzah.
Anwar, Syamsul. 2007. Studi Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: RM Books
Syahrur, Muhammad. 2007. Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer. Yogyakarta: Sukses Offset.
http://www.euthanasia.com/
http://id.wikipedia.org/wiki/Eutanasia
http://netsains.com/2007/11/euthanasia-dan-kematian-bermartabat-suatu-tinjauan-bioetika/
http://walausetitik.blogspot.com/2007/09/euthanasia-menurut-hukum-islam.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar